MERTIBUDAYA | Jumat Legi, malam Sabtu Pahing kemarin, tepatnya 18 Juli 2025 Paguyuban Trah Panembahan Senapati Mataram mengadakan sarasehan via Zoom meeting bertajuk, "Refleksi Tradisi Malam 1 Suro dan Aktualisasi Nuladha Laku Utama dalam Pasedherekan Catur Sagotra serta Bingkai NKRI". Sejak awal, memang Paguyuban yang dideklarasikan 28 Oktober 2024 di titik Alas Mentaok Kotagede Yogyakarta ini berorientasi kepada gerakan "Hanyawiji Lampah Manembah Sang Senapati, Hanyawiji Manah Sae kang Suci". Yaitu sebuah upaya mempererat tali persaudaraan Trah Mataram Islam melalui peningkatan level kesadaran pikiran hati dan penyempurnaan jiwa (wannafsiw wamasawwaha) bagi para tedhak turun Panembahan Senapati. Tujuannya agar Trah keturunan para Ningrat Jawa tetap selalu memegang amanah serta "eling lan waspadha" guna meraih penghayatan hidup dan makrifatullah mencintai ALLAH sebagaimana ajaran Leluhur Ngeksiganda (Mataram).
Deklarasi Paguyuban sendiri yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda tahun lalu tersebut dihadiri oleh RM. H. Danang Purbaningrat, SH.,MM (Ketua Umum), R. Abdul Latif Bahagia, S.Si (Ketua Bidang Organisasi), R. Undhang Pilihadi, SH., dan disaksikan pula oleh Ketua Yayasan PATRAP SENOPATI Kotagede DR.Ir. KRT. Nur Suhascaryo, M.Eng., M.Sc bersama sebagian sesepuh serta sedherek Trah bertempat di Alas Mentaok Kotagede Yogyakarta. Beberapa waktu kemudian, dibentuklah jajaran pengurus inti dengan mengundang KRT. Djaja Marsetyoadi, SE.MM sebagai Bendahara dan kami sendiri, R. Kushariyono Arief Wibowo, S.Fil (Wibie Maharddhika Suryomentaram) sebagai Penasehat Paguyuban.
Berbicara tentang keluarga Trah Panembahan Senapati Mataram tentulah berbicara tentang kekerabatan persaudaraan yang sangat luas. Bahkan teramat luas karena tentunya melibatkan keseluruhan Trah Catur Sagotra atau keturunan dari 2 (dua) Kerajaan dan 2 (dua) Praja Kadipaten yang menjadi "punjer Mataram", yaitu dari Trah Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Paku Buwono), Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Hamengku Buwono), Praja Kadipaten Mangkunegaran (Mangkunegara) dan Praja Kadipaten Pakualaman (Pakualam).
Alhamdulillah bersyukur bahwa saat ini sudah sangat banyak komunitas di wilayah NKRI baik berupa paguyuban, perkumpulan atau organisasi masyarakat yang menaungi eksistensi keluarga Mataram Islam tersebut. Mereka memiliki basis kegiatan yang beraneka ragam. Baik itu berlatar di ranah sosial, pendidikan, spiritual, budaya maupun ekonomi masyarakat. Sungguh hal ini adalah wujud nyata dari kekuatan pelestarian budaya dan tradisi Mataram Islam yang menjadi salah satu tiang penyangga budaya Nusantara. Bahkan boleh dikatakan mempunyai pengaruh nilai nilai paling besar dalam dinamika sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia hingga kini.
Kegiatan sarasehan dan refleksi spiritual Jumat malam lalu oleh Paguyuban Trah Panembahan Senapati Mataram tersebut dilandasi oleh rasa syukur atas nikmat ILAHI sebagai keluarga besar Trah para Raja tanah Jawa, dan sekaligus pula oleh rasa keprihatinan yang besar mengingat amanah moral yang harus diemban. Terutama karena menyaksikan kehidupan sosial masyarakat yang dipenuhi oleh kekeruhan batin akibat gelombang fitnah (hoax), kepalsuan dan kemunafikan jaman akhir. Sudah jamak orang banyak menyebut bahwa saat inilah sebagai jaman yang diprediksi oleh para Leluhur Jawa sendiri sebagai era "jaman edan". Jaman ketidak warasan dimana konflik kepentingan dan kekuasaan akibat sifat angkara serta ketamakan manusia merajalela. Simbol dan ritual baik dalam tradisi agama maupun budaya telah banyak menjadi kedok ego dan hawa nafsu sebagian umat manusia. Amal ibadah terlepas dari esensi tujuannya guna memperbaiki diri serta murni mendekat kepada TUHAN YME. Banyak orang berambisi mencari jabatan, pengakuan, pengaruh, popularitas dan materi semata untuk tujuan duniawi baik disadari mau pun tak disadari. Dunia menjadi tempat peperangan dan pertempuran ego yang sangat bising serta menjadi hijab tebal bagi cahaya ruhani. Manusia hidup dalam kegelapan, kegilaan (insanity) dan ketakutan "ora keduman" (tak kebagian) dari sesuatu yang sejatinya fana remeh temeh di Mata TUHAN.
Atmosfir jagad yang semakin kotor oleh jiwa jiwa penuh amarah, dendam, iri, dengki, benci, penyesalan, kegalauan, kekecewaan, egoisme dan kesombongan "rebutan balung" ini semakin menciptakan kegaduhan yang menjadi jadi. Manusia semakin sulit mendengar suara batin suci terdalam di lubuk kalbu dikarenakan kalah oleh suara "horeg" mengguncang akal pikiran hati mereka sendiri yang telah terkontaminasi racun dan berhala penipu semesta (Dajjal). Manusia menjadi mudah lelah jiwanya. Stress dan depresi serta terasing dari suasana damai surga. Maka semakin masyhur lah istilah "tiada kawan yang abadi, kecuali kepentingan yang abadi". Semakin susah lah orang mendapatkan saudara yang tulus kasih dan dapat dipercaya (amanah) karena banyaknya drama pengkhianatan yang ada. Semakin sedikit orang bisa menjadi sosok saudara yang secara lahir batin semata mengharap Keridhoan TUHAN nya.
Latar belakang suasana alam yang demikian menjadi pemantik kerinduan bagi para pencari kebahagiaan hakiki untuk kembali kepada ajaran para Leluhur Nusantara yang adiluhung. Disinilah Trah Mataram Islam diingatkan akan tradisi keheningan "hening heneng wening bareng" malam 1 Sura. Sebuah ritual spiritual budaya religius yang nyata mengajak umat untuk sejenak meninggalkan keramaian atau "bali ngalaming asuwung tan karem karameyan". Tidak mengherankan bahwa setiap tahun gelombang masyarakat semakin besar hadir dalam laku "tapa bisu" mengitari benteng benteng Kraton serta Praja Kadipaten Catur Sagotra dalam "lampah ratri kirab pusaka". Masyarakat berbondong-bondong hadir tanpa ada yang memaksa, dipaksa atau terpaksa. Bahkan yang menggembirakan dan mengharukan, peserta tradisi peringatan tahun baru Islam Jawa tersebut kini diikuti oleh mayoritas anak muda dari berbagai kalangan. Milenial dan Gen Z dengan kesadaran sendiri hadir sebagai "Wiji Sepuh" turut larut dalam kekhidmatan nan sakral.
Fenomena tersebut dibahas dalam sarasehan malam Sabtu Pahing lalu oleh Paguyuban Trah Panembahan Senapati Mataram. Semua pemantik, penanggap dan peserta sarasehan selaras meyakini bahwa tradisi keheningan tapa bisu yang sepenuhnya meditatif ini adalah oase dan mata air ruhani yang maha penting di era ini. Inilah esensi dari Laku Utama Wong Agung ing Ngeksiganda Panembahan Senapati sebagaimana digambarkan dalam pupuh Sinom serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV. Yakni laku spiritual mensucikan jiwa dalam segala kondisi setiap saat. Tiada henti baik siang atau pun malam (tanapi ing siyang ratri). Di setiap aktivitas, jiwa manusia yang ingin selamat "lumaku rahayu" wajib terjaga hening dari keramaian hawa nafsu dan ambisi ego diri demi menciptakan kedamaian pribadi serta berbuah akhir bagi kenyamanan hidup sesama (amemangun karyenak tyasing sasama).
Jiwa yang hening atau SUWUNG inilah jiwa yang tenang (MUTHMAINNAH). Ia adalah satu satunya jiwa yang layak masuk surga dalam Keridhoan NYA. Ia adalah dasar bagi pembentukan karakter dan watak Ksatria (Senapati) Pinandhita (Panembahan) sebagaimana Gelar nama pendiri Kraton Mataram itu sendiri. Betapa dari Asma Dalem PANEMBAHAN SENAPATI Sang Leluhur Catur Sagotra itu sendiri telah menjadi "pepeling" (pengingat) abadi bagi para tedhak turun nya. Yakni agar senantiasa dalam keseharian dijiwai oleh semangat "Brahmana" (profetik) sekaligus "Ksatria" (profesional) dalam mengabdi kepada ALLAH SWT dan melayani sesama umat. Barulah ia bisa disebut sebagai tedhak turun yang sesungguhnya. Yaitu pribadi para Ning-Rat, atau orang yang wening batinnya (NING) sekaligus mulia lahirnya (RAT). Hati di langit, kaki di bumi. Jauh dari sifat angkuh feodalisme yang menindas sesama titah NYA.
Sarasehan Refleksi Tradisi Malam 1 Sura itu pun menjadi energi, vibrasi serta frekuensi positif, sinergis, konstruktif dan harmonis yang mengumpulkan para sedherek Trah Panembahan Senapati dalam Trah Catur Sagotra lewat kerinduan batin yang sama akan nilai nilai keningratan sejati. R. Sri Pugieharto penanggap dari Trah Mangkunegaran menggambarkan dengan sangat menggugah bahwa para keturunan Ningrat hendaklah tidak terjebak membangga-banggakan leluhur, namun hendaknya justru menjadi pribadi yang dibanggakan oleh Leluhur. Sementara RM. Riyo Suryo Taruno atau budayawan yang akrab disapa RM. Donny Megananda dari Trah Pakualaman menekankan sikap untuk selalu berakar dari nilai adiluhung masa lalu sekaligus berpikir dan berjiwa terbuka menghadapi era modern kini dan masa depan. Untuk itu maka pola pikir untuk saling melengkapi adalah watak Ksatria sejati. Bukan sifat yang mudah mencari cari kesalahan sesama dan pembenaran diri. Terlebih mengingat bahwa kesempurnaan hanyalah milik Sang Khaliq.
Sementara itu R. Rahadi Saptata Abra dari Trah Kasultanan Ngayogyakarta dan Ketua Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro menginspirasi sarasehan dengan mengutip kalimat masyhur nan agung dari Pangeran Diponegoro yang menggetarkan jagad. Sang Pangeran sebagai tokoh Pahlawan Nasional dan teladan nyata Ningrat yang merakyat berjiwa Ksatria Pinandhita tersebut bersabda, "Hidup dan mati ada dalam genggaman ILAHI. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. GUSTI ALLAH Akan Menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalau pun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan TUHAN". Sungguh Sang Pangeran telah memberikan kesimpulan bahwa "nuladha laku utama" itu adalah memancarkan sifat KETULUSAN. Seorang Ningrat sejati adalah orang yang IKHLAS dalam gerak Catur Murti, yakni semata LILLAHI TA'ALA baik dalam pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatannya. Dan ketulusan keikhlasan itu hanya mungkin terwujud saat jiwa tidak dipenuhi keramaian hawa nafsu dan ego diri pribadi. Ia mutlak hening dari ambisi duniawi.
Walhasil, sarasehan serta refleksi spiritual Paguyuban Trah Panembahan Senapati Mataram di malam Sabtu Pahing (jumlah neptu 9, weton tertinggi) lalu menjadi lingkaran kecil reuni para sedherek Trah Mataram yang dijaga dan disaksikan para malaikat dan leluhur mereka. Sebuah langkah kecil bagi kerinduan tertinggi kepada suasana keheningan di tengah gemuruh era Medsos. Sebuah rasa kangen kepada suasana surga yang bertahta singgasana 'Arsy TUHAN, dimana para jiwa para Ksatria Pinandhita berangkulan damai mesra bahagia selamanya bersama GUSTI Nayaka Ningrat ing Jagad Rasulullah MUHAMMAD SAW dan seluruh Rasul, Nabi, Wali Leluhur Kekasih NYA.
Alhamdulillah, terimakasih wahai bulan Sura Muharram yang suci mulia dan menjadi penanda semesta. Engkau senantiasa menjadi lonceng harapan serta genta keindahan dan keagungan. Semoga dengan berkah NYA semua makhluk berbahagia.
Wibie Maharddhika Suryomentaram