
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus dan Rembang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang Bersama dengan prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, makai ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lembu (daun talas hijau) untuk penyamaran.
Nyi Ageng Serang pernah langsung memimpin geriliya disekitar desa Beku, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Atas permintaan Diponegoro ia mendekati Yogyakarta dan bermarkas di Prambanan. Dengan demikian ia ada hubungan langsung dengan Kraton dan dapat memberikan nasehat kepada Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II).
Dalam tahun 1838 Nyi Ageng Serang wafat dalam usia 86 tahun dan dalam keadaan tenang. Jenazahnya dimakamkan di sana atas permintaan almarhumah. Makamnya sekarang sudah dimuliakan.
Nama R.A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi yang disebut Puteri Serang atau Nyi Ageng Serang tetap terpuji sepanjang masa sebagai Wanita pejuang. Pemerintah R.I dengan SK Presiden No. 084/TK/Tahun 1974 tertanggal 13 Desember 1974 menganugrahi Nyi Ageng Serang gelar Pahlawan Nasional.
Sumber : Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia