AKU, MBAH MARIDJAN & GUNUNG MERAPI (Bagian: I)

  


Oleh: R.Budi Ariyanto Surantono (Ki Ariyo Wiro Sentono Al DJawi)


Saat ini, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta  sedang memasuki masa erupsi (letusan rutin). Sosial media dan  media online terus melakukan update aktivitas Gunung Merapi lengkap dengan foto dan videonya yang Luar biasa. 

Dahulu (saat saya masih anak anak), menyaksikan lava pijar keluar dari Gunung Merapi adalah hal biasa. Saat  masa erupsi tiba, dimalam hari Gunung Merapi nampak Merah menyala, lelehan lava pijar  keluar dari "mulut" Gunung Merapi dan terlihat jelas dari beberapa tempat di Kota Yogyakarta.

Percikan lava pijar yang berjatuhan ke lereng Gunung jadi hiburan tersendiri bagi saya dan  masyarakat Yogyakarta saat itu tanpa ada rasa takut sedikitpun. Bersama anak anak lain, kami biasa menunggu detik detik lava pijar keluar dan ketika lava pijar keluar kami bersorak sorai ketika lava pijar meluncur ke lereng Gunung dan menimbulkan percikan percikan kecil berloncatan seperti kembang api.

Pemandangan menakjubkan erupsi Merapi Makin membuat saya terpesona ketika saya  mulai kenal Dusun Kinahrejo yang hanya berjarak 3 km dari Puncak Gunung Merapi. Dusun tertinggi di Gunung Merapi tempat dimana ritual Hajad Dalem Labuhan Gunung  Merapi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat digelar setiap tahun 

Di Dusun Kinahrejo, tinggal keluarga Juru Kunci Gunung Merapi  Mas Ngabehi (M.Ng.) Suraksohargo yang juga dikenal dengan panggilan Mbah Maridjan. Beliau menjadi Abdi Dalem Juru Kunci menggantikan  ayahnya yang wafat dan jauh jauh hari sebelum ayahnya wafat  sudah "magang" membantu  ayahnya menjalankan tugas dari Kraton Ngayogyakarta untuk "Menjaga" Gunung Merapi.

Erupsi Merapi  2010, Mbah Maridjan wafat dan  "gugur" dalam menjalankan tugasnya sebagai "penjaga" Gunung Merapi. Beliau memenuhi janjinya untuk pengabdian sampai akhir hayat. Erupsi Merapi  maha dahsyat  tahun 2006 juga mengakhiri Dusun Kinahrejo sebagai Dusun tertinggi yang ditinggali masyarakat di lereng Gunung Merapi saat itu.

Bagi saya, Almarhum Mbah Maridjan adalah sosok Bapak dan Guru Kehidupan terbaik yang pernah hadir dalam hidup saya. Tahun 1986  kali pertama  mengenal beliau dan keluarganya. Pertama kalinya saya mengenal sebuah Dusun yang unik, sangat dekat dengan puncak Merapi dan warganya yang sangat polos dan ramah kepada siapa saja yang datang. 

Mengingat lokasinya yang terpencil  dan akses jalannya  masih sulit ketika itu, maka keberadaan Dusun Kinah Redjo hanya menjadi  cerita dari mulut ke mulut yang dibawa dan disebarkan para pendaki Gunung dan Pecinta Alam saja. Masyarakat Umum hampir mustahil bisa menjangkau Dusun Kinah Redjo kala itu.

Keakraban saya dengan keluarga Mbah Maridjan  dan Dusun Kinah Redjo sejak tahun 1986 akhirnya menjadi persaudaraan abadi hingga saat ini. Waktu itu, setiap masa erupsi Gunung Merapi tiba (biasanya tiap 2-7 tahun sekali) saya selalu  pergi ke Dusun Kinah Rejo. Tujuan  saya hanya ada dua, Yang Pertama Ingin Melihat Erupsi Gunung Merapi Dari Dekat dan Yang Kedua Ngobrol "glenak glenik" dengan Mbah Maridjan.

Dimalam hari, saya biasa ngobrol dengan Mbah Maridjan diruang tamu beliau yang sangat sederhana sambil ntonton TV hitam putih. Uyon-uyon, Ketoprak, Wayang Kulit dan Berita dari TVRI  adalah tontonan favorit beliau.  Tempat favorit lain buat ngobrol adalah didapur didepan tungku sambil makan singkong rebus dan minum kopi  atau teh panas bersama Mbah Maridjan Putri dan beberapa anggota keluarga. 

Karena masa masa erupsi, disela sela ngobrol  terdengar suara  gemuruh yang sangat keras dan terasa begitu dekat. Saya biasanya langsung lari keluar dan berdiri di Halaman rumah Mbah Maridjan memandang kearah Puncak Merapi. Luar Biasa. Pemandangannya yang jauh lebih indah dibanding menyaksikan erupsi Merapi dari Kota Jogja.

Keluarnya Lava Pijar diiringi  lontaran batu batu pijar berloncatan seperti kembang api  terlihat berwarna Merah menyala dan sangat terang. Biasanya saya menunggu sampai  berhenti baru saya kembali masuk kedalam rumah menemui Mbah Maridjan dan keluarga  yang tetap santai tanpa  terganggu suara suara gemuruh dari dalam perut Gunung Merapi.

Dalam Bahasa Jawa  saya bertanya 

"Niku pripun Mbah, Mboten Nopo-Nopo" ? 

(Itu bagaimana Mbah, tidak apa apa?)

Beliau menjawab:

 "Rapopo, Kraton Merapi Lagi Duwe Gawe"

 (Tidak apa apa, Kraton Merapi Sedang Punya Hajad).

Pemandangan berbeda saya jumpai siang hari, seperti biasa disiang hari saya  ikut menemani Mbah Maridjan di kebun belakang rumah, menanam singkong dan tanaman lainnya, sambil ngobrol kesana kemari. 

Dan kembali disaat kita ngobrol suara Gemuruh yang sangat keras terdengar dan terasa seperti gempa bumi. Mbah  Maridjan hanya  memandang puncak Merapi sebentar  kembali melanjutkan mencangkul.

"Kono..nek arep  ntonton neng latar, luwih ketok"

 ("Sana, kalau mau lihat ke halaman, lebih jelas") kata Mbah Maridjan.

Saya langsung berlari ke halaman rumah. Dan luar Biasa, terlihat batu batu berguguran / berjatuhan dari Puncak Merapi meluncur ke lereng dan kemudian diikuti meluncurnya asap pekat bergulung dan bergumpal-gumpal menuruni lereng Gunung

Setelah luncuran batu habis  segera saya kembali menemui Mbah Maridjan yang masih mencangkul di kebun belakang. 

"Kuwi mau Wedhus Gembel Le, Merapi Nek Lagi Duwe Gawe, Wedhus Gembel mesti metu" 

(itu "Wedhus Gembel" Le, Tiap Merapi Punya Hajad "Wedhus Gembel" Pasti Keluar)", kata Mbah Maridjan sebelum saya sempat bertanya dan beliau langsung mengajak saya "mbedol telo pendem" (mencabut singkong).

Sambil mencabut singkong sayapun bertanya dalam hati,

Apa maksudnya Merapi Punya Hajad ?, 

Apa itu "Wedhus Gembel", Apa Maksudnya Makhluk Halus Berwujud  Kambing ?


[ Bersambung]