Sosok: Sri Sultan Hamengkubuwono II (R.M.Sundoro)

|Penulis: Bigar Rahasia Siswa (*)|

|MertiBudaya|Sosok - Tanggal 7 Maret 1750 di lereng Gunung Sindoro lahirlah seorang anak laki-laki yang merupakan putra dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwana I (Pangeran Mangkubumi). Anak laki-laki itu diberi nama kecil dengan sebutan Raden Mas Sundara (R.M. Sundoro). Anak laki-laki itu masa kecilnya dibesarkan di pengungsian bersama ibundanya yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten karena akibat perang melawan VOC, dan situasi tersebut membentuk karakter yang keras pada diri Sri Sultan Hamengku Buwana II (R.M. Sundoro).

Setelah usai Perjanjian Giyanti dan dilanjutkan dengan perpindahan keluarga besar Sri Sultan Hamengku Buwana I ke Karaton Kasultanan Yogyakarta R.M. Sundara mulai tinggal di dalam Karaton dengan status sebagai Putra Raja. Sejak saat itu rasa kecintaan Sri Sultan Hamengku Buwana I (Pangeran Mangkubumi) kepada R.M. Sundoro menjadi lebih kuat, hingga pada akhirnya di tahun 1758 saat R.M. Sundara dikhitan dia diangkat menjadi putra Mahkota.

Sebenarnya sebelum R.M. Sundoro ditetapkan sebagai putra mahkota oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I sudah pernah diangkat putra mahktota dari istri permaisuri yang pertama yaitu G.K.R. Kencono, bahkan putranya tersebut sudah ditetapkan sebagai putra mahkota sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Putra Sri Sultan Hamengku Buwana I yang diangkat sebagai putra mahkota itu bernama Raden Mas Ento. Namun putranya tersebut usai perjalanan pulang dari Borobudur kemudian Dia jatuh sakit dan meninggal dunia, oleh karena itu status putra mahkota disematkan kepada R.M. Sundoro.

Setelah R.M. Sundoro beranjak dewasa sebenarnya Sri Sultan Hamengku Buwana I bermaksud menjodohkan putranya tersebut dengan putri dari Karaton Kasunanan Surakarta, harapannya dengan pernikahan tersebut Dinasti Mataram bisa kembali bersatu setelah sempat terpecah-pecah. Namun upaya tersebut gagal karena putri Paku Buwana III menikah dengan putra adipati Mangkunegoro I. Sehingga lama kelamaan perkembangan masing-masing karaton menunjukkan situasi yang semakin sulit untuk disatukan kembali.

R.M. Sundoro pada masa mudanya sempat merasakan adanya hubungan karaton Surakarta dengan Yogyakarta mengalami ketegangan yang disebabkan tidak jelasnya batas wilayah diantara kedua kerajaan tersebut, segala upaya untuk menyatukan dengan cara pernikahanpun ternyata tidak berhasil. Hingga akhirnya ada perjanjian Semarang atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh yang memberi batasan yang tegas pembagian wilayah untuk menghindari adanya konflik yang bisa terjadi lagi karena ketidakjelasan batas wilayah dua kerajaan tersebut.

Adanya Perjanjian Semarang itu bagi R.M. Sundoro hal itu dirasa bahwa kekuasaan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit dan hanya menguntungkan pihak VOC saja karena kekuasaan VOC semakin luas. Sejak saat itu kebencian R.M. Sundoro kepada VOC khususnya, dan orang asing umumnya semakin besar, dan hal itu semakin membuat Sri Sultan Hamengku Buwana I semakin menaruh harapan besar agar R.M. Sundoro dapat mempertahankan dan melindungi Yogyakarta dari rongrongan bangsa asing.

R.M. Sundoro dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana II pada tanggal 2 April 1792. Beliau menolak tegas permintaan wakil VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan Sultan. Banyak peristiwa penting yang terjadi pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana II. Satu diantara beberapa peristiwa penting yang ada adalah Sri Sultan Hamengku Buwana II dengan tegas menolak semua tata aturan baru yang dibuat oleh VOC dibawah kepemimpinan William Herman Daendels. Daendels datang ke Yogyakarta membawa 3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwana II, dan akibat tekanan tersebut akhirnya Sultan Hamengku Buwana II dipaksa untuk turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya yaitu R.M. Surojo sebagai Hamengku Buwana III pada tanggal 31 Desember 1810.

Sri Sultan Hamengku Buwana III diharuskan untuk menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan, namun perjanjian tersebut belum sempat dilaksanakan karena Inggris dating dan memukul mundur Belanda. Kesempatan tersebut digunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana II untuk mengambil kembali tahtanya, Beliau menurunkan status Hamengku Buwana III (R.M. Surojo) kembali ke posisi sebelumnya yaiti sebagai putra mahkota serta mengeksekusi Patih Danurejo yang terbukti bersekongkol dengan William Herman Daendels.

Kerasnya sifat Sri Sultan Hamengku Buwana II menjadikan Beliau harus berhadap-hadapan dengan bangsa asing yaitu Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles. Pada masa itu Karaton Yogyakarta diserang oleh Prajurit Sepoy yang berasal dari India pada tanggal 20 Juni 1812, akibat gempuran tersebut karaton Yogyakarta sempat diduduki dan harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah oleh pasukkan Inggris dan Sri Sultan Hamengku Buwana II ditangkap kemudian diasingkan ke Pulau Penang hingga tahun 1815.

Setelah adanya penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816 kemudian Belanda membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwana II yang dianggapnya sebagai ancaman besar, maka tanggal 10 Januari 1817 Sri Sultan Hamengku Buwana II dibuang ke Ambon. Setelah mengalami adanya banyak peristiwa di Yogyakarta kondisi Sri Sultan Hamengku Buwana II kesehatannya semakin menurun drastic. Pada tanggal 3 Januari 1828 bertepatan dengan tanggal 15 Jumadilakir 1755 Sri Sultan Hamengku Buwana II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di Kotagede.


Magelang, 12 Februari 2025

(*) Bigar Rahasia Siswa, Dosen & Sekretaris Umum Yayasan Patrap Senopati Kotagede


Sumber Referensi:

Website Kraton Yogya