Catatan: Wibie Maharddhika (*)
Tradisi peringatan Tahun Baru Islam Jawa berakar dari Kraton Mataram Islam era Sultan Agungan. Maka wajar jika hingga kini Kasunanan Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman selalu menjadi "punjer agung" dan magnet utama dalam pelestarian tradisi peringatan malam 1 Sura di bumi Pertiwi.
Alhamdulillah sebagai Muslim Jawa, kini semakin banyak di berbagai penjuru dan tempat umat Islam juga mengembangkan tradisi peringatan malam pergantian tahun kalender Hijriah dan Jawa ala Sultan Agungan ini dengan beraneka cara serta upacara. Sungguh hal yang sangat menggembirakan. Ini adalah bentuk kerinduan spiritual umat untuk lebih memaknai waktu dalam kehidupan. Khususnya di jaman ini yang telah "dijangka" para Leluhur dahulu sebagai "hamenangi jaman edan" (INSANITY) penuh nafsu, ego, ketamakan, angkara murka dan penjungkir balikan fakta, maka hati nurani menggiring manusia untuk "retreat" kembali kepada kejernihan mata air ruhani guna menyelami fitrah suci dan kebenaran hakiki.
Laku utama tradisi peringatan malam 1 Sura adalah memasuki alam keheningan batin pribadi terdalam. Berjalan menapak bumi dengan berdiam diri. Demikianlah kita saksikan baik di Surakarta dan Yogyakarta, bahwa Kraton serta Kadipaten melakukan "tapa bisu". Baik itu "mubeng Beteng" maupun "kirab Pusaka". Peserta upacara dan masyarakat yang menyaksikan pun larut dalam ketakjuban batin masing-masing dalam hening yang syahdu.
Dalam laku ini, NIAT tetap menjadi kunci. Ia adalah sumber daya kekuatan (energi), getaran semesta (vibrasi) dan frekuensi alam. Maka walaupun dalam suasana hening, warna warni gerak gerik pikiran dan hati (MANAH) manusia wujud bagai pelangi semesta yang indah dan agung. Menyegarkan kembali atmosfir dan harmoni keselarasan hidup manusia sebagai pusat kosmos. Mengapa hal itu bisa terwujud? Tak lain karena "alas batiniah" setiap pribadi di saat itu tenggelam dalam keberserahan diri sepenuhnya ke Hadirat GUSTI Kang Maha Suci Luhur (ALLAH SWT). Tenggelam dalam samudra puja puji semata mensyukuri karunia nafas suci (ROH KUDUS) dengan laku terpuji (MUHAMMAD) tiada henti.
Secara khusus pula "Lampah Manembah" di malam penuh keagungan itu bagi ORANG JAWA adalah untuk meneladani laku Sang Pendiri Kraton Mataram Islam sendiri, yakni Wong Agung ing Ngeksiganda Panembahan Senapati. Tertulis dalam pupuh Sinom serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV :
_Nuladha laku utama tumrape wong tanah Jawi. Wong agung ing Ngeksiganda Panembahan Senapati. Kapati amarsudi sudane hawa lan nepsu. Pinesu tapa brata tanapi ing siyang ratri. Amemangun karyenak tyasing sasama_
Selaras dengan Dhawuh ajaran Kanjeng Nabi MUHAMMAD SAW bahwa ISLAM adalah tentang keberserahan diri total kepada TUHAN YME dalam pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. Totalitas itu diwujudkan dengan laku mengurangi hawa nafsu diri. Tentu saja hal itu membutuhkan upaya perlawanan dan bahkan peperangan internal jiwa. Alhamdulillah puji Tuhan karena esensi jiwa adalah KASIH, maka perlawanan dan peperangan batin tersebut hakekatnya adalah menundukkan dengan "pelukan kedamaian" atau lampah "Suradira Jayaningrat Lebur dening Pangastuti".
Dengan demikian, pergantian waktu malam 1 Sura dimaknai sebagai perayaan "peperangan batin" umat untuk mampu menjaga MANAH dan LAMPAH. Berjuang dengan cara "anteng meneng sing suwe". Perjalanan "hening heneng wening bareng" atau gerakan MEDITASI dalam segala ekspresi. Hal ini selaras dengan akar budaya tradisi NUSANTARA yang senantiasa bersifat SPIRITUAL dari Sabang sampai Merauke. Kita saksikan bahwa seluruh karya seni budaya adiluhung bangsa besar ini merupakan harmoni dari sifat keindahan dan keagungan. Paduan sifat "Jamaliah" dan "Jalaliah" yang tak lain adalah ungkapan jiwa manusia yang merindukan Wajah "Kamaliah" atau Kesempurnaan ILAHI. Dan penyaksian atau "Musyahadah" itu hanya mungkin dilakukan dalam suasana batin yang hening, tenang, jernih di relung samudra kalbu (sinimpen telenging kalbu).
Walhasil, malam 1 Sura sebagai budaya Mataraman yang berakar dari spiritualitas Nusantara tak lain adalah menggiring dan mengingatkan jiwa untuk "bali ngalaming asuwung" (kembali ke dasar keheningan). Sifat manusia yang telah kembali "suwung" adalah "Tan karem karameyan" atau tak suka dengan keramaian. Bukan dalam artian anti interaksi sosial, namun lebih kepada anti kebisingan batin yang diwarnai amarah, dendam, iri, dengki, benci, penyesalan, kekecewaan, kegalauan, kegaduhan, ketamakan, egoisme dan kesombongan.
Fitrah seluruh manusia di muka bumi sejatinya adalah jiwa damai suka cita. Hanya karena tak mampu mengurangi, melawan, memerangi dan bertanding menundukkan hawa nafsu ego diri, maka terjadilah konflik dan suasana "chaostik" yang terbuka. Istilah teman, banyak terjadi orang tiba tiba bisa "korslet" dan "macak kesurupan". Kekeruhan akibat luka batin dan ketidak tenangan pikiran sadar serta bawah sadarnya melahirkan perilaku kekerasan. Baik kekerasan dalam ucapan maupun tindakan. Inilah mengapa mata air yang jernih berpencar terpisah menjadi sungai sungai dan melakukan perjalanannya sendiri sendiri.
Malam penuh KEHENINGAN tradisi jelang 1 Sura pun menjadi sesuatu yang makin penting dan mahal. Ia selalu dibutuhkan dan berperan mengingatkan dari saat ke saat bahwa Alam senantiasa Bersabda dalam wujud KARMA. Waktu selalu Berbicara membaca jejak sejarah dan fakta tanpa luput tanpa jeda. Kondisi SUWUNG menjadi inti kerinduan para hamba ALLAH. Dengannya, ia bergerak dalam keselarasan CATUR MURTI (pikiran, perasaan, perkataan, perbuatan). Menjadi pribadi yang semakin "Eling lan Waspadha", setia pada kata dan janji serta terpercaya. Jauh dari keramaian fitnah, hoax serta seluruh kebisingan kekeruhan akibat jiwa yang "menggila".
Tradisi KEHENINGAN inilah yang Alhamdulillah puji Tuhan semakin menebar dalam perayaan malam 1 Sura/Muharram di seluruh pelosok negeri. Saat denyut punjer Mataram (Catur Sagotra) semakin menguat secara spiritual, maka level kesadaran umat pun makin naik melangit. Kesadaran sebagai "Manungsa Manunggaling Rasa" (SATU JIWA) pun makin terwujud dalam ekpresi CINTA (LOVE) & TATA KRAMA (RESPECT) untuk"Amemangun karyenak tyasing sasama". Sungai sungai atau kali kali budaya Nusantara yang beraneka ini berproses mengalir MENG-ALAH menjadi bentuk karya karya yang menciptakan harmoni dan keselarasan di alurnya. Saat sadar bahwa sumber mereka adalah Jiwa Damai yang Satu (NAFSIN WAHIDATIN), maka aliran itu akan dipertemukan kembali di Samudra Peradaban Rahmat Kasih Semesta (Rahmatan Lil 'Alamin). Hingga dengan cahaya kesadaran tertinggi Sang Matahari, lautan menguap melayang hingga kembali ke mata air untuk pulang. Pulang kembali kepada kebenaran lubuk hati terdalam dan semakin dalam.
_You may say I'm a dreamer. But I'm not the only one. I hope someday you'll join us. And the world will live as ONE_
WAL 'ASHR ..
Demi waktu. Setiap manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang orang yang beriman dan beramal saleh. Dan saling menasehati dalam kebenaran. Dan saling menasehati dalam kesabaran.
Pura Mangkunegaran
Malam Jumat Kliwon
Salam Satu Jiwa
26 Juni 2025
(*) Wibie Maharddhika, Seniman dan Budayawan Malang Raya
🙏🇮🇩❤️😇🇮🇩❤️🙏