Silsilah Nasab Yang "Malati" dan "mBerkahi"

 OPINI |

Oleh: R.Budi Ariyanto Surantono (*)

Harus berpikir 1000 kali ketika saya memutuskan untuk menulis opini  ini ke publik. Karena sensitif dan akan ada pihak pihak yang tidak berkenan.

Namun panggilan  nurani  mendorong saya untuk tetap menulis sebagai  pendapat pribadi yang semoga ada manfaatnya. 

Saya mencermati fenomena banyak kesalahpahaman dan kesalahpengertian terhadap kedudukan pengakuan nasab seseorang dalam konteks jasmaniah maupun ruhaniah.

Tahun  2000 an, saya pernah "ngangsu kawruh" kepada pengageng maupun sesepuh  dari Kraton Ngayogyakarta  maupun Kraton Surakarta Hadiningrat akan hal ini.

Intinya, dalam hal pengakuan dan penggunaan gelar nasab ada dua sisi yang tidak bisa terpisahkan, yaitu sisi "Malati" atau membuat  pemiliknya kualat dan sisi  "mBerkahi" yang membawa keberkahan.

Banyak orang ingin mendapatkan pengakuan sebagai tedhak turun raja raja Mataram dan kemudian  mendapatkan Surat pengakuan berupa Layang Kekancingan (dari Kasultanan Ngayogyakarta / Pikukuh (dari Kasunanan Surakarta) / Nawala Kekancingan (dari Kadipaten Pakualaman) atau Piagam Sentono (dari Kadipaten Mangkunegaran).

Setelah dapat pengakuan,  ia berhak menggunakan gelar nasab seperti  Raden (R) / Raden Ayu (R.A.) / Raden Ajeng (R.Aj.)  / Raden Bagus (R.B.) / Raden Nganten (R.Ngt.) dan sebagainya.

Bagi keluarga yang masih memegang teguh dan menjaga silsilah, gelar nasab tersebut lestari turun temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya tanpa terputus sehingga kemudian bisa membentuk sebuah diagram silsilah keluarga yang runtut.

Namun ada juga yang abaik sehingga jalur silsilah menjadi  terputus hingga beberapa generasi sampai kemudian kehilangan jejak dan "kepaten obor".

Memang tidak semua orang peduli dengan silsilah keluarga. Tidak semua orang telaten menjaga dan merawat silsilah keluarganya tersebut karena berbagai faktor.

Ada yang sebetulnya punya silsilah valid namun menganggap  tidak penting. Disisi lain, ada yang  berusaha mati matian  mendapatkan pengakuan silsilah kendati silsilahnya belum valid 100%.

Ada Yang menganggap memiliki garis Tedhak Turun Raja adalah sebuah takdir yang harus dilestarikan, namun ada juga yang menganggap itu sebagai sebuah "kepenuhan" yang bisa ditonjolkan untuk berbagai kepentingan.

Ada konsep tidak tertulis yang sebenarnya harus dipenuhi oleh mereka mereka yang saat ini sudah memegang surat legalitas dari kraton, yaitu konsep "Pembuktian Terbalik" atas legalitas yang kita miliki.

Misalnya kita sudah memiliki legalitas silsilah itu dan dikemudian hari merasa atau mengetahui atau diberitahu orang lain bahwa silsilah yang sudah mendapatkan legalitas itu salah dan kemudian kita merasa bahwa benar jika silsilah itu salah.

Maka kwajiban kita adalah "sowan" kembali ke kraton dan mengembalilan piagam pengakuan itu dan dengan ikhlas mengakui bahwa silsilah yang sudah dilegalkan itu salah sehingga dikembalikan.

Namun memang untuk melakukan itu tidaklah mudah. Karena membutuhkan keikhlasan lahir batin tingkat tinggi. Apalagi jika yang bersangkutan berdasarkan Piagam silsilah itu telah mendapatkan berbagai jabatan di masyarakat.

Nah disinilah letak "malati" dan mberkahi" itu. Apabila ia tahu bahwa silsilah yang telah dilegalkan itu terbukti salah dan ia mau "legowo" mengembalilan dan mengakui kesalahan itu, maka disinilah dampak "malati" terhapus berganti dengan keberkahan.

Namun sebaiknya, jika ia sudah tau bahwa silsilah yang telah dilegalkan itu salah, namun ia "tidak mau legowo" dan terus mempertahankan silsilah yang salah itu maka dampak "malati" akan terjadi disini dan tercabut keberkahan hidupnya.

Yang lebih mengerikan lagi, jika kemudian ia meninggal dan kemudian anak cucu nya (yang tidak tau) menganggap silsilah itu benar, maka barangkali bagi anak cucu tidak ada masalah karena memang tidak tau.

Yang menjadi masalah adalah yang telah tiada itu mewariskan ketidakbenaran dan kesalahan  silsilah yang ia pendam hingga tiada dan kemudian menurun ke anak cucu dari generasi ke generasi  menjadi  kesalahan yang turun temurun tentu saja ini jadi "malati".

Yang "mBerkahi" adalah apabila silsilah nazab itu benar dan digunakan dijalan kebenaran yang mendatangkan manfaat bagi banyak orang tentu akan menjadi sumber keberkahan yang pahalanya terus mengalir sepanjang waktu.

Kesimpulannya kita harus hati-hati memperlakukan garis nazab supaya "mBerkahi" dalam hidup kita dan bukan malah "malati" sepanjang hidup kita didunia maupun diakhirat.



(*) Dr.(H.C) R.Budi Ariyanto Surantono, S.Kom, LL.B.,LL.M., Pamerti Adat & Budaya