MERTIBUDAYA | ILMU HITAM (Santet) dalam perspektif hukum pidana, dianggap sebagai perbuatan yang perlu dikriminalisasi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru (UU 1/2023) mengatur tindak pidana terkait santet dalam Pasal 252, dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak Rp200 juta. Pasal ini berfokus pada perbuatan pelaku (delik formil), tanpa mensyaratkan adanya akibat dari perbuatan tersebut. Ki
Kriminalisasi Santet:
Santet yang selama ini dianggap sebagai perbuatan gaib, diatur dalam KUHP sebagai perbuatan pidana untuk melindungi masyarakat dari potensi kerugian yang ditimbulkan.
Pasal 252 KUHP Baru:
Pasal ini mengatur tentang tindak pidana terkait santet, meliputi perbuatan yang mengaku memiliki kekuatan gaib, memberi harapan, menawarkan bantuan untuk menimbulkan penderitaan mental atau fisik, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian.
Delik Formal:
Pasal 252 merupakan delik formal, artinya berfokus pada perbuatan pelaku, bukan pada akibat yang ditimbulkan. Hal ini berbeda dengan delik materiil yang mensyaratkan adanya akibat dari perbuatannya.
Pembuktian:
Pembuktian dalam perkara santet sulit dilakukan, karena bersifat supranatural. KUHP Baru lebih menekankan pada perbuatan pelaku, sehingga pembuktian dapat dilakukan dengan menggunakan saksi, pengakuan, atau petunjuk lainnya.
Sanksi Hukum:
Pelaku yang melanggar Pasal 252 KUHP Baru dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak Rp200 juta.
Perlindungan Masyarakat:
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang merugikan, termasuk santet yang dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, dan dampak psikologis bagi korban.
Penegakan Hukum:
Dengan mengkriminalisasi santet, pemerintah menunjukkan komitmennya dalam menegakkan hukum dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Menyatakan Kebenaran:
Hukum pidana bertujuan untuk menegakkan kebenaran
Santet merupakan suatu perbuatan magis terlarang secara norma kebiasaan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain dalam konsep memiliki layaknya perbuatan pidana. Namun konsep santet sebagai suatu tindak pidana memiliki tantangan tersendiri mengingat konteks tindak pidana di Indonesia sebagai negara hukum harus memiliki kerangka hukum yang normatif pula.
Namun, hingga diundangkannya UU 1/2023 yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026, terdapat kekosongan hukum tindak pidana yang berkaitan dengan santet. Kekosongan hukum ini memiliki dampak yaitu akan menimbulkan tindakan main hakim sendiri dari korban atau pihak yang mengatasnamakan korban bahkan masyarakat yang menduga bahwa rasa sakit, atau kematian yang dialami korban adalah akibat perbuatan pelaku santet.
Dengan diundangkannya ketentuan tindak pidana yang berkaitan dengan santet dalam KUHP baru, maka kekosongan hukum tersebut telah diakomodir.
Bunyi Pasal 252 KUHP Baru dan Unsur Pasalnya
Adapun, pasal santet tersebut termaktub di dalam Pasal 252 KUHP Baru yaitu UU 1/2023 yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Sebagai informasi, ketentuan pidana denda dalam Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 adalah sebesar Rp200 juta.[6]
Memperhatikan rumusan Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 di atas, terdapat beberapa unsur perbuatan pidananya, yaitu:
setiap orang (yaitu pelaku santet);
yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan
Dalam hal yang mengajukan laporan kepada kepolisian adalah korban, maka setidaknya korban harus mempunyai bukti di antaranya:
Keterangan saksi. Korban dapat menjadi saksi apabila ia memiliki bukti percakapan atas ungkapan dari si pelaku santet yang ia dengar sendiri atau dari saksi lain yang mendengar perkataan si pelaku santet itu sendiri.
Keterangan ahli. Dalam konteks ini, akan sangat sulit diperoleh bila ahli yang dimaksud adalah ahli santet karena belum ada kualifikasi atau standar tentang validasi ahli dalam santet. Hal ini mengingat Pasal 252 UU 1/2023 merupakan delik formil sehingga timbulnya akibat bukan syarat pembuktian tindak pidana santet. Adapun, ahli yang dapat diajukan adalah dalam hal penyakit, atau kematian yang dialami korban ditemukan benda di dalam tubuh korban yang tidak lazim misalnya paku, pecahan kaca, atau benda lainnya. Ahli yang dapat diajukan yaitu dokter yang memeriksa hasil rontgen atau dokter forensik.
Surat, dapat diajukan sesuai dokumen hasil rontgen atau berita acara laboratorium forensik.
Petunjuk. Adanya persesuaian dari keterangan saksi dengan alat bukti lainnya baik keterangan ahli atau surat.
Keterangan terdakwa atau dalam hal ini adalah pelaku santet. Namun, perlu dicatat bahwa ia mempunyai hak ingkar di persidangan dan menjadi tugas berat bagi aparat penegak hukum untuk membuatnya berbicara jujur dan mengakui perbuatannya.
Adapun, bila yang mengajukan laporan adalah pengguna jasa santet, maka setidaknya harus mengantongi bukti di antaranya:
Keterangan saksi. Pengguna jasa santet dapat menjadi saksi apabila ia memiliki bukti percakapan atas ungkapan dari si pelaku santet yang ia dengar sendiri atau dari saksi lain yang mendengar perkataan si pelaku santet itu sendiri bahwa si pelaku santet telah memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepadanya.
Keterangan ahli. Adapun ahli yang dapat diajukan adalah ahli pidana dalam ranah tindak pidana penipuan.
Kesimpulan: Pasal santet dalam KUHP baru bukan lagi merupakan rancangan undang-undang, melainkan telah menjadi undang-undang yang berlaku (UU No. 1 Tahun 2023) dan diatur dalam Pasal 252. Pasal ini mengatur perbuatan menawarkan jasa santet sebagai delik formil.
UU Santet, yang merujuk pada Pasal 252 KUHP Baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023), akan aktif mulai 2 Januari 2026. UU ini menetapkan sanksi pidana bagi orang yang mengaku bisa melakukan santet. Pasal 252 KUHP Baru ini mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan praktik santet, termasuk pengakuan atau penawaran untuk melakukan santet.
Sumber: Mata Kuliah Hukum Pidana Oleh Prof.Dr.Donna Dayu Kemana Soekarno, LL.M.,Ph.D., Pendiri Universitas Kemanusiaan PDKS.ROS PBX Alexandrina Victoria II International University