Sleman, Yogyakarta — Dalam sejarah Islam Jawa, nama Kiai Nur Iman tak hanya hidup di balik jubah kebesaran ulama, tetapi juga mengakar sebagai simbol transformasi diri dari bangsawan keraton menjadi pelita umat. Lahir dengan nama Raden Mas Sandiyo—putra Amangkurat IV dan cucu pahlawan besar Untung Suropati—ia memilih jalan sunyi yang tak lazim bagi darah biru: meninggalkan gemerlap istana dan menapaki jalan dakwah di desa kecil bernama Mlangi, Sleman.
Tak seperti saudaranya yang meniti tahta dan politik, Sandiyo muda justru merantau jauh ke timur, berguru pada Kiai Abdullah Muhsin di Pondok Pesantren Gedangan, Surabaya. Di sana, ia menyelami lautan ilmu nahwu dan sharaf, membentuk pribadi yang matang secara spiritual dan intelektual. Ia pulang bukan sebagai pangeran, tapi sebagai Nur Iman—"Cahaya Keimanan" yang kelak menerangi Nusantara.
Setibanya di Mataram, beliau tak memanjakan diri di lingkungan istana. Justru di tanah sunyi yang disebut “Mulangi”—yang berarti tempat belajar ulang—ia mendirikan pesantren dan membangun Masjid Pathok Negara Mlangi atas restu Sultan Hamengkubuwono I. Masjid itu bukan sekadar tempat ibadah, tapi pusat penyebaran Islam, pusat ilmu, dan benteng budaya lokal.
Lebih dari 17 pondok cabang tumbuh dari tangannya. Santri datang dari berbagai penjuru. Di tengah tekanan kolonialisme, pesantrennya menjadi ruang diam-diam merancang perlawanan spiritual. Tak heran jika keturunannya, seperti Kiai Taptojani dan Kiai Salim, menjadi guru spiritual Pangeran Diponegoro.
Kiai Nur Iman bukan hanya ulama, ia adalah arsitek masyarakat. Ia menunjukkan bahwa ketinggian derajat bukan soal garis keturunan, melainkan keberanian memilih jalan pengabdian. Ia wafat pada pertengahan abad ke-18 dan dimakamkan di belakang Masjid Mlangi. Hingga hari ini, ribuan peziarah datang setiap malam 15 Suro untuk mengenang jejaknya.
Dari darah raja menjadi pelita desa. Dari istana menuju surau. Kiai Nur Iman mengajarkan kita bahwa perubahan besar dimulai dari keikhlasan meninggalkan dunia, dan keberanian untuk menerangi jalan orang lain. Namanya tak tercetak dalam buku sejarah formal, tapi hidup dalam santri, pesantren, dan doa-doa masyarakat hingga kini. ***